Penghormatan Untuk ‘Preman’ dan ‘Pengangguran’

Oktober 14, 2012

Penghormatan Untuk ‘Preman’ dan ‘Pengangguran’

Ketika kedatangan seorang ‘teman’ kurang sopan yang mengajak saya berbisnis batu bara, saya tak sabar menunggu dia pamit pulang. Sebab semalaman mendengarkannya berkoar tentang nilai proyek-proyeknya (sawit, alat berat, sampai penataan kota), mobilnya, apartemennya, dan pejabat-pejabat yang ada di kantongnya membuat saya ingin mandi junub. Tapi sekarang saya harus berterimakasih kepadanya, karena ia menginspirasi saya untuk mengulik.
Sore ini, tiba-tiba teringat pada saat mengusir halus customer dari KEDAI karena tidak sudi tempat usaha saya jadi tongkrongan koruptor dan preman bisnis. Setelah mendengar mereka bicara panjang lebar ttg menyogok polisi, bupati, dan dengan bangga menyombongkan berapa M yg mereka dapat dari proyek buku sekolah di Papua, maka membiarkan mereka datang ke tempat saya sama saja mengebiri diri sendiri.
Kemudian saya teringat sebuah perbincangan dengan seorang saudara yang mengkritik pilihan saya dalam berteman. “Tika, kenapa kamu berteman dengan orang-orang yang tampilannya seperti preman dan pengangguran….” Saya hanya menjawab “Cobalah kamu ngobrol-ngobrol dengan mereka. Kamu pasti malu kamu pernah mengatakan ini.”
Baik si pengusaha tak punya santun, maupun om-om jijay di KEDAI itu, tampilan mereka jauh dari sosok preman yang dicekoki sinetron dan koran kuning. Pakaian perlente, rambut rapi, mobil mewah, istri cantik, anak di sekolah internasional, mungkin juga pergi umroh setiap tahun. Tapi menyogok pejabat, memanipulasi hukum, dan saling jegal adalah bagian lumrah dalam permainan bisnis kelas ini. Seringkali mereka tak ragu-ragu menginjak hidup orang lain dan menjustifikasinya dengan istilah ‘resiko bisnis’. Tentunya, bukan mereka sendiri yang turun tangan, melainkan orang-orang yang mereka bayar buat menyingkirkan penghalang bisnis. Orang-orang yang di antaranya berseragam, berpangkat, dan pernah bersumpah untuk melayani dan melindungi.
Sebenarnya, saya kenal baik dengan tipe-tipe mereka. Sebab saya besar di sekeliling mereka. Busuknya dunia bisnis yang berkaitan erat dengan pejabat-pejabat pemerintah, adalah obrolan meja makan di keluarga saya, dan salah satu alasan kenapa saya memilih untuk banting setir dari bidang itu. Saya hidup berdampingan dengan frustasi orang tua saya mempertahankan legitimasi dan prinsip mereka, yang kadang bertentangan dengan tuntutan profesi.
Bagaimana dengan teman-teman saya, yang diberi label preman dan pengangguran itu? Mari saya perkenalkan dengan sebagian dari mereka.
Achmad Julian. Bertato seluruh tubuh, botak plontos, sepatu boots butut yang dikenakannya setiap hari belum pernah diganti dari tahun 2003. Profesinya florist. Di tempat pembibitan bunga miliknya di Jawa Barat, ada sebuah ruang khusus tempat dia memberi workshop pada penduduk setempat tentang ilmu penyilangan bunga untuk menghasilkan varietas baru, cara perawatan tanaman yang tidak konvensional dll. Gratis. Hasilnya, banyak penduduk yang penghasilannya meningkat, merekomendasikan kelas Jul kepada kerabat-kerabatnya. Sekarang banyak yang datang dari jauh buat berpartisipasi kelas Jul. Beberapa di antara mereka turut membagi ilmu yang mereka punya.
Iga Massardi dan Adoy. Kaos, celana pendek, jeans, cengengesan dan sulit serius. Mereka memulai sebuah kelas gitar gratis yang dinamai Kelas Gitar Gratis (duh!) di Taman Suropati. Setiap minggu sore, ruang publik ini diramaikan murid-murid KGG yang tekun dengan gitar mereka. Setiap mampir ke KGG untuk duduk-duduk menikmati suasana, saya selalu diingatkan bahwa Jakarta tidak sejahat itu. Masih banyak kenikmatan dan keindahan di kota ini, serta orang-orang yang mau membaginya.
Ika Vantiani dan Anton Ismael. Ika dengan (lagi-lagi) tato-tatonya, kaos-kaos lusuhnya, dan kacamata kuno andalannya. Anton dengan rambut setengah botak setengah gimbalnya. Sebenarnya yang teman dekat saya adalah Ika. Anton, saya baru kenalan tapi sudah lama mengenal karyanya sebagai fotografer. Bersama-sama mereka mengelola Kelas Pagi, sebuah komunitas fotografi yang diawali Anton sejak 2006 silam. Dinamakan KELAS PAGI karena kelas dimulai pada pukul 06.00 s/d 11.00 pagi. Siapapun boleh bergabung, tanpa syarat dan iuran. Virus kelas pagi sudah menyebar sampai ke Jogjakarta. Sedangkan Ika sendiri pernah menggagas Peniti Pink yang mendistribusikan dan menularkan serunya membuat media independen. Ika juga membuka pintu rumahnya yang dulu untuk jadi taman bacaan, kelas bahasa inggris gratis dll. Sekarang ia masih sering memberikan berbagai workshop craft, kolase, zine, dan masih selalu sempat jadi teman ngobrol saya yang paling menyenangkan.
Vodi dan Ruwat. Pasangan homo berpenampilan street punk yang sering dikira tukang palak. Sejak tahun 2002, di lantai dua sebuah ruko milik Vodi ada sebuah tempat yang dinamai Control Room. Semacam tempat pemulihan buat orang-orang yang ingin lepas dari adiksi terhadap drugs dan alkohol dengan biaya sukarela. Ada beberapa kamar untuk detoks, ada ruang-ruang sharing dan konseling. Disana para mantan pecandu membantu pecandu yang lelah jadi pecandu. Di lantai satu ada bengkel yang memperkerjakan para ‘alumni’ lantai dua yang belum mendapat pekerjaan tetap. Vodi dan Ruwat sudah menyelamatkan banyak nyawa secara literal. Salah satunya adalah saya. Ya, saya berhutang nyawa pada mereka.
Mayang. Celana pendeknya sangat pendek. Rok mininya sangat mini. Dan rumahnya di Jakarta Timur sangat ramai oleh celoteh tawa bocah-bocah kecil. Mayang membuka rumahnya untuk jadi penitipan anak gratis bagi pasangan bekerja yang tidak mampu mempekerjakan babysitter atau pembantu rumah tangga. Bersama beberapa relawan, mereka mendedikasikan seluruh tenaga dan waktu membuat program permainan yang mendidik, memasak makanan bergizi, dan kadang jadi perawat dadakan saat ada anak yang sakit.
Pacar saya (ehem), nama dirahasiakan. Gimbal, berkulit gelap, besar dan sangar. Ia adalah seorang petani dan peternak di Berastagi Sumatera Utara. Dia menanam kopi dan jeruk di lahannya, dan memelihara sapi di kandangnya. Namun setengah hektar lahan dedikasikan buat karyawan-karyawannya yang tidak punya lahan sendiri. Mereka bebas menanam apapun disana selama itu jenis tanaman yang bisa dipanen cepat, agar bisa bergantian dengan karyawan lain yang juga ingin menanam. Hasil yang mereka dapatkan setiap panen lebih dari lumayan. Ia juga membuka lebar-lebar pintunya untuk siapapun yang ingin memakai peralatan di bengkel kayunya, tempat ia menuangkan hobi carpentry nya membuat apapun dari kayu bekas. Pada petani dan peternak setempat ia tak pernah pelit ilmu. Mulai pengelolaan finansial hingga memaksimalkan usaha seperti mengajari ternak madu, pakan ternak hemat, produksi pupuk organik, dan lain-lain selalu dibaginya. Setiap melihatnya dengan semangat berbagi dengan orang-orang yang notabene adalah saingannya, saya selalu bangga jadi pacarnya. Hehehe…
Ah masih banyak lagi sebenarnya teman-teman saya yang serupa. Yang selalu memancing ide-ide baru dan memberi sudut pandang berbeda setiap kita berbincang. Yang membagi apa yang mereka punya, baik ilmu maupun kepemilikan, untuk dijadikan kail bagi orang lain. Memang, tak ada di antara mereka yang berdasi dan bersetelan safari. Memang, mereka adalah orang-orang yang seringkali tidak dilayani dan dipandang rendah saat masuk ke hotel berbintang lima. Tapi tanyakan pada para pengusaha dan pejabat di lounge-lounge hotel itu, kapan terakhir kali mereka turun tangan langsung untuk membagi apa yang mereka miliki dengan orang-orang yang mereka tidak kenal, tanpa mengharap imbalan atau publisitas? Bagaimana dengan karyawan-karyawan mereka yang mungkin ingin membuat sesuatu yg serupa, namun energi dan waktu mereka terlanjur habis disedot pekerjaan?
Mungkin saya menganggap dunia mereka kotor dan superfisial, dan mereka menganggap dunia saya remeh dan aneh. Baiklah, kita menyukai dan menghargai hal-hal berbeda. Tapi memberi label preman dan pegangguran, tanpa mengenal mereka? Saya yakin kamu lebih pintar dari itu.

You Might Also Like

4 komentar

  1. Balasan
    1. Banyak pelajaran dari orang-orang diluar sana yang patut kita syukuri :)

      Hapus
  2. kadang orang salah menilai dari penampilan...justru kadang orang yg berdasi dan rapi yang otaknya cuman taunya ngisep darah sodaranya sendiri

    BalasHapus

Mahluk ciptaan yang paling sempurna adalah manusia